Sabtu, 09 Maret 2013
Batin Yang Mandul
By: Fr.Daniel Byantoro
Bismil Abi, wal Ibni, war Ruhul Quddus, Al-Ilahu Wahid. Amin.
Shaloom Aleikhem Be-Shem Ha-Massiakh,
Saudara-Saudari yang kekasih di dalam Tuhan,
Dalam kejadian yang sebenarnya kisah ini terjadi pada waktu hari Senin Pagi, karena dikatakan oleh bacaan kita “pagi-pagi hari dalam perjalanan-Nya kembali ke kota” (Matius 21:18), itulah sebabnya Sembahyang yang kita lakukan sekarang ini sebenarnya adalah Sembahyang Singsing Fajar untuk Hari Senin besok pagi. Pada Hari Senin sesudah Peristiwa Minggu Palem itu ada empat hal yang terjadi hal yang terjadi: pengutukan pohon ara oleh Sang Kristus, pertanyaan tentang kuasa Sang Kristus, perumpamaan tentang dua anak laki-laki dari seorang Bapa, serta perumpamaan mengenai penggarap-penggarap kebun anggur.
Semuanya ini merupakan awal konflik Sang Kristus dengan para pemimpin orang Yahudi yang menolak Dia di zaman itu, dan pernyataan murka Allah atas penolakan mereka itu. Pada saat itu Yesus merasa lapar “ (Matius 21:18). Lapar itu ingin dikenyangkan, berarti dalam perlawatan-Nya kepada umat-Nya ini Kristus berkehendak untuk dipuaskan oleh buah-buah kehidupan dari umat-Nya, yaitu bangsa Israel. Ia “melihat pohon ara lalu pergi ke situ, tetapi Ia tidak mendapat apa-apa pada pohon itu selain daun-daun saja” (Matius 21:19). Pohon ara adalah lambang umat Israel, daun adalah lambang kesegeran hidup. Ini menunjukkan bahwa kehidupan kegamaan, atau hidup batiniah, orang Yahudi itu begitu kelihatan seperti hidup rimbun dengan segala macam bentuk upacara dan ibadah, namun sayang pohon itu tidak ada buahnya “selain daun saja”. Artinya kesalahennya itu hanya pada tataran aturan syariat, tata aturan keagamaan yang luar saja, yang tidak menghasilkan buah batin dan akhlak sama sekali. Inilah kehidupan iman yang mandul, yang terlalu sibuk dengan masalah-masalah bentuk dan cara, namun bukan pada penghalusan batin dan keutamaan susila.
Hidup yang demikian kelihatannya menyenangkan, subur dan penuh kehidupan, namun dimata Sang Kristus justru sebaliknya, karena kehidupan keagamaan yang mandul seperti ini justru mendatangkan kutuk, seperti yang disabdakan Sang Kristus ”Kata-Nya kepada pohon itu: "Engkau tidak akan berbuah lagi selama-lamanya!" Dan seketika itu juga keringlah pohon ara itu” (Matius 21:20a). Kutukan ini mengajarkan kepada kita betapa agama yang tidak memanusiakan diri kita justru menimbulkan kematian kepada kita sendiri. Agama yang demikian ini justru menjadi racun yang mematikan, karena ini hanya menimbulkan kefanatikan yang sempit, dan hanya membuahkan kemunafikan dan keinginan untuk memamerkan diri kepada orang orang lain. Ini bukan beragama bagi kemuliaan Tuhan, dan bukan beragama bagi memberikan manfaat kepada sesama kita manusia, namun beragama hanya demi untuk menyibukkan diri untuk dilihat oleh orang lain, dan bagi meninggikan ego pribadi saja. Inilah bentuk keagamaan yang menekankan ritual tetapi yang tak memiliki kedalaman batiniah dan pembentukan moralitas diri pribadi. Seperti yang dikatakan: "Untuk apa itu korbanmu yang banyak-banyak?" firman TUHAN; "Aku sudah jemu akan korban-korban bakaran berupa domba jantan dan akan lemak dari anak lembu gemukan; darah lembu jantan dan domba-domba dan kambing jantan tidak Kusukai. Apabila kamu datang untuk menghadap di hadirat-Ku, siapakah yang menuntut itu dari padamu, bahwa kamu menginjak-injak pelataran Bait Suci-Ku? Jangan lagi membawa persembahanmu yang tidak sungguh, sebab baunya adalah kejijikan bagi-Ku. Kalau kamu merayakan bulan baru dan Sabat atau mengadakan pertemuan-pertemuan, Aku tidak tahan melihatnya, karena perayaanmu itu penuh kejahatan. Perayaan-perayaan bulan barumu dan pertemuan-pertemuanmu yang tetap, Aku benci melihatnya; semuanya itu menjadi beban bagi-Ku, Aku telah payah menanggungnya. Apabila kamu menadahkan tanganmu untuk berdoa, Aku akan memalingkan muka-Ku, bahkan sekalipun kamu berkali-kali berdoa, Aku tidak akan mendengarkannya, sebab tanganmu penuh dengan darah. Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda” (Yesaya 1:11-17) Inilah bentuk ritual tanpa iman, ibadah tanpa akhlak.
Ketika hidup keagamaan itu hanya rimbun diluar tanpa buah, maka justru kutuk ilahi yang akan muncul, karena disitulah akan timbul banyak masalah. Kemunafikan, kepura-puraan, kefantikan, kesalehan palsu, ingin dipuji orang, kesombongan rohani, tidak peduli pada orang lain, hambar dari cinta-kasih, mudah menghakimi orang, merendahkan orang lain yang dianggap tidak serius seperti dirinya, dan lain-lain. Itulah bentuk kutuk yang muncul, dan akhirnya kalau sudah demikian ia menjadi kering, dan lama-lama akan tidak perduli lagi pada nilai-nilai iman, dan nilai-nilai rohani, apalagi pada perkembangan batin. Ia menjadi kering. Itulah yang terjadi terhadap para pemimpin Agama dari umat Yahudi di zaman itu. Dengan kutukan yang dilakukan Sang Kristus terhadap pohon ara ini, Beliau Sang Maha Baginda ingin menunjukkan bahwa ibadah yang benar itu harus disertai iman, namun karena para murid itu belum mengerti kuasa dan jangkauan iman, ketika oleh kuasa iman sesuatu terjadi mereka “Melihat kejadian itu tercengang” (Matius 21:20) “lalu berkata: "Bagaimana mungkin pohon ara itu sekonyong-konyong menjadi kering?" karena mereka belum tahu bagaimana iman itu dapat melakukan sesuatu yang tidak mungkin.
Itulah sebabnya Sang kristus langsung menjelaskan: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu percaya dan tidak bimbang, kamu bukan saja akan dapat berbuat apa yang Kuperbuat dengan pohon ara itu, tetapi juga jikalau kamu berkata kepada gunung ini: Beranjaklah dan tercampaklah ke dalam laut! hal itu akan terjadi. Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya." (Matius 21:21-22). Ini menunjukkan orang yang kelihatannya dekat dengan Kristuspun belum tentu mengetahui arti kuasa yang terkandung dalam iman. Orang yang beriman tidak hanya rimbun daun diluar saja, namun menghasilkan buah yang dapat mengenyangkan orang lain juga, dan dapat melakukan hal-hal yang tak mungkin dilakukan orang. Jadi ibadah bukan sekedar pada masalah ritual dan upacara rutin yang mati, dan berputar-putar sekitar cara dan aturan. Namun itu harus membawa kepada kuasa yang mengubahkan dan membawa kepuasan bagi orang lain, artinya memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya dan bagi orang lain Para Pemimpin Agama Yahudi waktu itu dikutuk Kristus karena mereka tahu bahwa mukjizat telah dilakukan Kristus, namun mereka tidak mau percaya pada misi Ilahi Kristus. Para murid masih dapat dimaafkan, karena keheranan mereka bukan karena tidak percaya tetapi karena belum dan tidak tahu. Sedangkan para pemimpin Agama dari umat Yahudi memang secara sengaja sudah memutuskan untuk tidak mau percaya. Mereka inilah daun-daun rimbun yang dikutuk dan akhirnya harus mati kering itu. Semoga kita dijauhkan dari nasib yang sama ini.
Hal ketidak-mau-percayaan para pemimpin Agama Yahudi itu terlihat dari perikop bacaan kita ini selanjutnya: “datanglah imam-imam kepala serta tua-tua bangsa Yahudi kepada-Nya, dan bertanya: "Dengan kuasa manakah Engkau melakukan hal-hal itu? Dan siapakah yang memberikan kuasa itu kepada-Mu?" (Matius 21:23). Para pemimpin Agama ini seharusnya orang-orang yang pertama-tama mengetahui “kuasa mana” dan “siapa yang memberikan kuasa” itu pada Sang Kristus, karena jenis kuasa yang kelihatan itu jelas bukan jenis sihir, bukan jenis ilmu gelap, namun jenis yang membawa kepada kesucian. Jadi seharusnya mereka sudah mengerti bahwa yang “memberikan kuasa” itu pada Sang Kristus adalah Allah sendiri, berarti misi Kristus adalah misi dari Allah. Namun mereka sudah memutuskan hati untuk tidak mau percaya pada tukang kayu miskin tak berkedudukan dari Galilea ini sebagai utusan Allah. Kedudukan mereka dalam organisasai agama telah membutakan mereka. Agama yang seharusnya membuat mereka mengerti ma’rifat Allah malah membuat mereka buta ketika lawatan ilahi itu datang kepada mereka. Jadi kebenaran tidak selalu berpihak pada pejabat tinggi keagamaan. Sering justru mereka ini yang buta dan yang menganiaya kebenaran Allah. Itulah sebabnya Sang Kristus tak mau memberikan jawaban pada mereka, toh itu tidak ada gunanya, karena Sang Kristus sudah tahu isi hati orang-orang itu. Maka ia balik bertanya kepada mereka agar itu untuk menjadi bahan pemikiran mereka, dengan begitu mereka melihat permasalahan dengan benar: "Aku juga akan mengajukan satu pertanyaan kepadamu dan jikalau kamu memberi jawabnya kepada-Ku, Aku akan mengatakan juga kepadamu dengan kuasa manakah Aku melakukan hal-hal itu.” (Matius 21:24).
Dalam beragama memang orang harus belajar mengevaluasi niat, motivasi. Landasan dan cara. Sama seperti yang disabdakan oleh Sang Kristus kita harus berani “mengajukan satu pertanyaan” kepada diri kita sendiri, dan harus berani juga “memberi jawabnya” sehingga kita akhirnya mendapatkan jawaban yang sebenarnya terhadap diri kita, dan motivasi yang sebenarnya dalam beragama. Dengan pertanyaan dan penyelidikan terhadap diri kita, serta berani menjawab terhadap diri kita sendiri, maka kita akan menemukan diri kita yang sebenarnya dalam wawasan kita beragama ini. Dan itulah sebabnya dengan pertanyaan yang diajukan Sang Kristus ini, maka kelihatan bahwa bukan Sang Kristus yang jadi tertuduh namun para petinggi agama itu sendirilah yang tertuduh dan didakwa oleh hati-nuraninya sendiri akan kekafiran dan kejahatan mereka sendiri. Dengan demikian mereka tahu bahwa mereka yang melanggar, namun mereka menutup mata akan kekurangan diri sendiri, dan menjadikan orang lain sebagai “kambing hitam”. Bukankah kita juga sering demikian? Dalam lubuk hati kita yang tulus dan jujur, sebenarnya kita sendiri yang menjadi masalah namun kita menolak untuk mengakui karena memang kesombongan diri kita tak rela mengakui bahwa ada “noda gelap” dalam hati kita, maka kita mencari “kambing hitam” dan menuduh serta mendakwa orang lain. Padahal jika kita rela jujur dan tulus, menyelidiki diri dengan mengajukan pertanyaan serta memberi jawab atas pertanyaan kita sendiri itu akan menjadi langkah awal terhadap pertobatan, dan peningkatan derajat batiniah. Dan untuk menuju kepada derajat batiniah yang berbuah dan tidak mandul itulah Sang Kristus mempertanyakan semuanya itu, dan kitapun memperingati peristiwa tadi. Seperti yang dikatakan: ”Dari manakah baptisan Yohanes? Dari Sorga atau dari manusia?" Mereka memperbincangkannya di antara mereka, dan berkata: "Jikalau kita katakan: Dari Sorga, Ia akan berkata kepada kita: Kalau begitu, mengapakah kamu tidak percaya kepadanya? Tetapi jikalau kita katakan: Dari manusia, kita takut kepada orang banyak, sebab semua orang menganggap Yohanes ini nabi." (Matius 21:25-26).
Sang Kristus mengajukan pertanyaan yang sebenarnya para petinggi Agama itu tahu jawabnya. Mereka dihadapkan pada pilihan jawaban dan teka-teki pertanyaan yang mereka harus jawab. Mereka tahu ada kemungkinan menjawab bahwa baptisan Yohanes itu “Dari Sorga” namun konsekuensinya mereka akan dituduh “Kalau begitu, mengapakah kamu tidak percaya kepadanya?” dengan demikian mereka kelihatan kejahatan, kekerasan hati dan kekafiran mereka sendiri terhadap suara Allah dan pelayanan Nabi-nya yang suci ini. Kitapun juga punya pilihan jawaban jujur meskipun itu menyakitkan dan menunjukkan warna hati kita yang sebenarnya, karena itu akan menuntun pada perendahan diri dan perendahan hati kepada Allah, sehingga kita berbalik pada-Nya dalam tobat. Namun kita bisa menolak untuk menerima konsekuensi dan implikasi atas jawaban itu, sehingga kita tinggal dalam kekafiran dan akhirnya dalam murka ilahi. Di pihak lain para petinggi agama itu dapat juga menyangkal apa yang sudah jelas dengan tidak mengakui misi ilahi dari baptisan Nabi Yohanes itu dengan mengatakan baptisan Nabi Yohanes itu “Dari manusia”, namun mereka tahu juga konsekuensi jawaban tidak jujur ini , karena mereka “takut kepada orang banyak, sebab semua orang menganggap Yohanes ini nabi”. Inilah masalah mereka yang sebenarnya mereka “takut kepada orang banyak” namun tidak takut Allah, padahal mereka tahu bahwa “semua orang menganggap Yohanes ini Nabi”, artinya ia memang diutus Allah. Kita sering menjaga gengsi terhadap manusia, sehingga mengorbankan kesempatan untuk memperbaiki rohani kita dalam hubungan kita dengan Allah.
Oleh karena itulah Gereja memberikan kesempatan Pekan Kudus ini setiap tahun, untuk mengingatkan bahwa pada saat Kristus mengkonfrontasi para petinggi agama itu, adalah untuk mengajar agar kita berani mengkonfrontasi diri kita sendiri, mengakuinya dengan jujur, bertobat dan mengubahnya. Jika kita tidak mau yang terjadi adalah seperti para petinggi agama ini, dimana akhirnya dikatakan oleh Kitab Suci mengenai mereka: ”mereka menjawab Yesus: "Kami tidak tahu." Dan Yesus pun berkata kepada mereka: "Jika demikian, Aku juga tidak mengatakan kepadamu dengan kuasa manakah Aku melakukan hal-hal itu” (Matius 21:27). Karena mereka tidak mau jujur terhadap fakta jelas yang telah mereka ketahui, dan lebih mementingkan gengsi di depan manusia daripada takut akan Allah, maka akibatnya mereka jadi “tak perduli’ atau menjadi orang yang berpura-pura dengan jawaban “Kami tidak tahu”. Mereka jatuh kepada “kebodohan”, sehingga mereka tidak mendapatkan kebenaran yang hakiki ” Aku juga tidak mengatakan kepadamu”. Dengan demikian betul-betul kegamaan mereka itu hanya bersifat sebentar menjadi kering, karena tidak mendapat inspirasi dan penerangan ilahi, karena Yang Ilahi “tidak mengatakan kepada“ mereka apa-apa lagi. Rutinitas keagamaan mereka tidak membawa kepada pencerahan batin.
Kritik dan kecaman Sang Kristus selanjutnya kepada orang semacam ini dilanjutkan dengan perumpamaan mengenai dua anak dari seorang Bapa (Matius 21:28). Dimana ketika mendapat perintah bapaknya untuk bekerja di kebun anggur anak yang sulung itu mengatakan: “Baik, bapa. Tetapi ia tidak pergi.” (Matius 21:29) Tetapi anak yang kedua ketika mendapatkan perintah yang sama pertama menolak perintah bapaknya: ”Aku tidak mau. Tetapi kemudian ia menyesal lalu pergi juga” (Matius 21:30). Anak sulung adalah gambaran para “petinggi agama “ dan para “pemabuk agama”. Mereka ini adalah orang yang mempertahankan bentuk-bentuk luar keagamaan sebagai sarana mencari realisasi diri, supaya menganggap dirinya orang yang saleh. Para petinggi agama itu mengenakan atribut-atribut luar keagamaan dengan segala aura kekuasaan yang ada disekitar dirinya agar ditakuti orang, tetapi hatinya kering dan kosong, semua atribut tadi hanya daun yang rimbun saja.
Mereka ini kelihatannya mengatakan kepada Allah “Baik Bapa” namun pada realita yang sebenarnya mereka ini adalah orang yang “tidak pergi” menjalankan perintah Bapa untuk mengolah “kebun anggur” batin mereka sendiri. Begitu juga para pemabuk Agama adalah demikian sikapnya. Mereka menggunakan penampakan seperti mengetahui banyak hal tentang agama, pandai dalam Theologia, sangat rinci dalam masalah kecil keagamaan, namun hatinya juga kering, karena itu semua dilakukan bukan karena cinta akan Allah, dan bukan karena kerelaan mengubah diri, namun hanya karena supaya mendapat gengsi dan “anggapan” dari orang banyak, rasa takut akan Allah tidak ada pada hati orang yang seperti ini. Yang ada hanya bagaimana orang dapat menganggap dirinya hebat. Sedangkan anak yang bungsu itu adalah gambaran “pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal” (Matius 21:31). "Yang terakhir." Inilah yang “melakukan kehendak ayahnya” dan mereka inilah “akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah”. Dengan demikian kita dipatahkan dari kesombongan dan kecongkakan kita. Karena kita tidak bisa merasa aman dalam “status quo” keagamaan kita jika motivasi kita tidak benar. Justru orang yang kita rendahkan yang secara keagamaan muungkin bodoh dan tidak tahu, itulah yang “percaya” pada “Yohanes” yang “datang untuk menunjukkan jalan kebenaran”, sedangkan para pemabuk agama dan para petinggi agama yang cinta pujian manusia dan cinta kedudukan ini justru “tidak percaya kepadanya” (Matius 21:32), dan “meskipun …. melihatnya, tetapi …..tidak menyesal dan …..tidak juga percaya kepadanya” (Matius 21:32). Yesus tidak perduli dengan bentuk luar jika itu menjadi akhir pada dirinya sendiri, Ia menuntut motivasi yang benar yang dilandasi akan “percaya” dari batin yang terdalam dan “penyesalan” akan dosa-dosa kita secara sungguh-sungguh, yaitu akan pertobatan. Seperti orang-orang berdosa yang direndahkan itu mau percaya dan menyesali perbuatannya, dan berbalik kepada Allah. Dari sikap awal seperti inilah kita menjadi berbuah dan tidak hanya berdaun rimbun saja.
Melalui kritik dan kecamanNya terhadap para petinggi agama inilah Kristus hendak menunjukkan bahwa Ia hendak menciptakan suatu umat yang baru, karena umat yang lama yang melembaga dalam keagamaan para petinggi agama ini telah menolak hakekat agama, dan hakekat kerohanian, dan menjadikan bentuk-bentuk agama itu sebagai tujuan untuk realisasi diri dan bukan untuk mentaati kehendak Allah karena ketiadaan-iman dan ketidak-mauan untuk bertobat. Keadaan para petinggi agama umat yang lama ini digambarkan dalam perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur yang berikut ini.
Dalam perumpamaan bacaan kita ini Kristus mengatakan tentang “Tuan Tanah” yaitu Allah, dan kebun Anggur yaitu “Umat Israel”, yang disewakan kepada penggarap-penggarap yaitu para “Petinggi Agama” yang harus memelihara kebun itu, Tuan Tanah itu lalu “pergi ke negeri lain” artinya tak berada di alam ciptaan ini namun dalam keberadaan ke-Ilahi-anNya sendiri (Matius 21:33). Ketika musim petik, yaitu musim “pertanggungan jawab” bagi tugas penggembalaan bagi umat itu, ia “meyuruh hamba-hamba-Nya” yaitu “para Nabi dan poara Orang Benar” untuk “menerima hasil yang menjadi bagiannya” yaitu “buah rohani yang berkenan kepada Allah” (Matius 21:34). Dari kisah ini jelas bahwa hidup ini bukan milik kita sendiri, kita ini hanya penggarap-penggarap saja, dan hasilnya itu harus kita pertanggung-jawabkan kepada Allah. Tentu saja karena kita ini hanya sekedar meminjam hidup ini dari Allah, bukan kita yang berhak menggunakan hidup ini semau-mau kita, namun kita harus mempertanggung-jawabkannya kepada Allah. Sehingga Allah selalu menyuruh hamba-hambanya para Nabi kepada para petinggi Agama Israel itu untuk mengingatkan mereka agar mengembalikan buah hidup mereka kepada Allah, sama seperti Allah menyuruh hamba-hambaNya kepada kita untuk mengingatkan agar kita tidak lalai akan kewajiban dan tanggung-jawab kita untuk mempersembahkan buah hidup kita ini kepada Allah, seperti pada saat Pekan Kudus yang sekarang kita lakukan ini.
Namun sayang, bahwa selalu dan sering yang terjadi adalah “penggarap-penggarap itu menangkap hamba-hambanya itu: mereka memukul yang seorang, membunuh yang lain dan melempari yang lain pula dengan batu” (Matius 21:35), artinya para petinggi itu bukan hanya tidak mau mendengarkan peringatan akan tanggung-jawab dan kewajiban mereka untuk mempersembahkan hasil buah kehidupan itu kepada Allah, malah yang terjadi mereka menolak, dan secara literal menangkap, memukul, dan membunuh para utusan Allah itu, pendek kata kebenaran aniaya ditolak dengan segala kekerasan demi untuk mengikuti kemauan diri yang penuh dengan kegelapan dosa itu. Ini peringatan untuk kita semua bahwa di dalam diri kita semua terdapat potensi untuk penolakan yang sepertri ini, karena mungkin kita merasa telah tahu, kita merasa bahwa kita sudah dekat dengan Allah buktinya kita sudah menjadi pengurus, atau menjadi orang yang tak pernah absen dalam ibadah, orang yang tahu bagaimana berbicara masalah Theologia dan lain-lain. Namun justru keberadaan “merasa” yang beraneka-warna inilah yang menjadi potensi untuk membunuh dan menolak serta menganiaya kebenaran Allah di dalam kita, sehingga kita menyerang orang yang mengingatkan kita demi kepentingan dan ego kita sendiri. Namun Allah adalah Dia yang tak pernah mengingkari kesetiaan pada PerjanjianNya sendiri, sehingga meskipun manusia selalu menolak peringatanNya, namun “tuan itu menyuruh pula hamba-hamba yang lain, lebih banyak dari pada yang semula, tetapi mereka pun diperlakukan sama seperti kawan-kawan mereka.” (Matius 21:36).
Memang manusia sudah begitu rusak, sehingga sulit untuk dengan mudah menerima kebenaran Allah dengan rela, selalu ada saja alasan penolakannya. Manusia seperti barang yang mudah retak, mudah tersinggung, mudah sakit hati, mudah merasa terlangkahi, mudah terasa tidak ”diorangkan” dan segala macam perasaan yang berasal dari kesombongan yang lain, sehingga bukannya mereka mau mawas diri melihat ke dalam batin mereka sendiri, namun reaksi keras yang bersifat penganiayaan entah secara fisik ataupun secara penggunaan kata-kata dan lidah yang tajam ia menyerang orang yang dianggapnya telah menyakiti dirinya, padahal orang itu adalah “hamba Allah” yang betul-betul peduli akan keselamatan dirinya. Begitu luar biasanya kesetiaan Allah pada Perjanjian-Nya dan kasih-Nya pada umat-Nya, sehingga meskipun para hamba utusan-Nya itu telah ditolak dan dianiaya, namun “ia menyuruh anaknya kepada mereka, katanya: Anakku akan mereka segani” (Matius 21:37), namun dasar manusia bejat bukannya mereka segan, malahan Sang Anak inipun dibunuhnya, agar “warisannya menjadi milik kita” (Matius 21-38-39), warisan itu adalah tanggung jawab dan kewajiban serta kehidupan kita sendiri ini. Artinya kita ingin memiliki kehidupan dan tanggung-jawab itu untuk diri kita sendiri, agar kita tak usah bertanggung jawab pada Allah. Hidupku milikku sendiri, bukannya Hidupku milik Kristus. Namun manusia lupa bahwa ada saatnya “tuan kebun anggur itu datang” yaitu pada hari pengadilan nanti, serta yang “akan dilakukannya dengan penggarap-penggarap itu” adalah “akan membinasakan orang-orang jahat itu ” (Matius 21:40, 41). Pada saat sekarang kita mungkin bisa berdalih untuk tidak mau bertobat dan mengeluarkan buah yang benar seperti para petinggi Agama Yahudi itu, namun jika Allah telah bertindak maka hanya ada kehancuran saja yang diterima manusia.
Itu terjadi kepada bangsa Yahudi terutama para petinggi yang menolaknya dengan dihancurkannya lambang kesombongan para petinggi Agama itu yaitu Bait Allah di Yerusalem pada tahun 70 Masehi oleh Jenderal Titus, dan kepada kita semua pada akhir jaman nanti dengan dihancurkannya kesombongan-kesombongan kita pada saat “orang-orang mati dihakimi menurut perbuatan mereka, berdasarkan apa yang ada tertulis di dalam kitab-kitab itu” (Wahyu 20:12), pada saat itulah kelihatan warna kita yang sebenarnya yang selama ini berusaha kita sembunyikan. Terhadap orang-orang kafir yang akan dihgancurkan-Nya ini Allah tidak kekurangan umat yang taat serta “kebun anggurnya akan disewakannya kepada penggarap-penggarap lain, yang akan menyerahkan hasilnya kepadanya pada waktunya” (Matius 21:41). Allah dapat memunculkan orang-orang saleh yang membuahkan hasil kehidupan secara benar, karena memang Allah ingin melihat buah dari umat-Nya bukan hanya daun yang rimbun saja. Bagi para petinggi agama dari Umat Yahudi, penolakan mereka terhadap Kristus dan kebenaran-Nya ini sebenarnya adalah sebagai “Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan” namun justru “Batu “yang mereka tolak sebagai tukang bangunan-bangunan ini, adalah “batu penjuru” itu sendiri (Matius 21:42). Sehingga karena para petinggi agama Yahudi itu menolak maka “Kerajaan Allah akan diambil dari padamu”, yaitu diambil dari umat Yahudi, dan “akan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah Kerajaan itu”, yaitu suatu bangsa baru (I Petrus 2:9), yang akan menerima Kristus: Gereja. Jadi memang sama dengan pada awal penciptaan dunia dimana Allah menjadikan alam semesta selama enam hari, demikianlah pada Pekan Kudus selama enam hari ini, Allah melalui Sabda-Nya yang menjelma sedang berkarya menciptakan suatu dunia yang baru di dalam Gereja-Nya yang akan menjadi awal pembaharuan segala ciptaan itu. Itulah sebabnya, Ia membongkar-bangkir kesalahan-kesalahan fatal yang dilakukan oleh para petinggi Agama itu, untuk mengembalikan kepada mereka kepada kesadaran. Demikian pula kita yang sudah ada dalam Gereja inipun, harus hati-hati supaya kita juga tidak mengulangi hal yang sama dengan mengalami pembekuan rohani sama seperti para Petinggi Agama Yahudi ini, sehingga iman kita mandul tak berbuah. Mari kita perbaharui iman kita dalam Pekan Kudus ini supaya kita dapat menghasilkan buah yang berlimpah bagi Kerajaan Allah, di dalam batin dan kehidupan kita. Amin.
(sumber: http://monachoscorner.weebly.com/batin-yang-mandul.html )
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar